PENGASUHAN ANAK USIA DINI DALAM KELUARGA

Opini

Darosy Endah Hyoscyamina

(Dosen Fakultas Psikologi UNDIP )

LATAR BELAKANG

Komunikasi adalah suatu hal yang pastinya dilakukan oleh semua orang. Komunikasi ini bisa dilakukan kepada siapa pun di keseharian kita. Salah satu bentuk hubungan komunikasi yang paling erat dan awal dalam kehidupan seorang individu adalah hubungan komunikasi yang milikinya dengan anggota keluarga.

Hal ini dikarenakan keluarga merupakan kontak atau komunikasi paling pertama yang anak temui saat lahir. Setelah kelahiran tersebut hubungan anak dengan keluarga akan terus berkembang selama kehidupannya. Tentunya setiap keluarga mempunyai kepercayaan masing-masing dan di sini anak akan menerima nilai- nilai dan juga norma-norma yang dimiliki oleh keluarganya.

Perilaku dan sikap juga akan menjadi hal lain yang diterima dari ajaran orang tuanya di keluarga tersebut. Pola perilaku yang diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya ini disebut sebagai suatu pola asuh.

Selain itu sikap dan perilaku yang diajarkan atau ditunjukkan oleh keluarga akan bisa mempengaruhi perkembangan anak. Jadi pola asuh yang diterapkan oleh orang tua dan lingkungan positif keluarga yang dimiliki anak saat masa kecil menjadi sangat penting dikarenakan bisa mempengaruhi anak secara langsung atau tidak langsung di ke depannya.

Jika pola asuh yang diberikan orang tua kurang baik maka bisa mempengaruhi anak tersebut secara negatif. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa pola asuh dan lingkungan keluarga yang baik menjadi hal yang sangat penting untuk perkembangan anak.

Dikarenakan seberapa pentingnya pola asuh ini maka di tulisan  ini kami  akan membahas tentang keluarga dan pola asuh yang diterapkan, perkembangan anak usia dini, model-model pola asuh yang bisa dilakukan, faktor yang bisa mempengaruhi perkembangan anak, dan metode dalam pendidikan dan pengasuhan anak.

PEMBAHASAN

1. Keluarga dan Pengasuhan Anak

Keluarga merupakan kontak pertama yang ditemui seorang anak ketika lahir. Hubungan ini akan terus berkembang selama kehidupannya yang lalu bisa membentuk dasar anak tersebut (contoh seperti perilaku, sifat, dan lainnya). Hal tersebut menjadikan pola pengasuhan orang tua terhadap anak menjadi hal yang penting.

Santrock menggambarkan keluarga sebagai suatu sistem yang berhubungan. Hubungan ini menjadikan anggota keluarga bisa mempengaruhi anggota keluarga lainnya, yang lalu akan menyebabkan perilaku setiap anggota keluarga saling bergantung. Santrock (2007) lalu menamakan hal ini mutual synchrony (Fauzi, 2015). Keadaan tersebut menyebabkan pola asuh orang tua sangat mempengaruhi sikap dan perilaku anak. Pola asuh sendiri merupakan kumpulan sikap, praktik, dan ekspresi non verbal orang tua yang bercirikan kealamiahan dari interaksi orang tua kepada anak sepanjang situasi berkembang (Fauzi, 2015).

Hubungan bisa memiliki dua subsistem, yaitu dyadic yang melibatkan 2 orang dan polyadic yang melibatkan lebih dari dua orang. Contoh hubungan subsistem bersifat dyadic di keluarga adalah hubungan antara anak dengan ibu. Sedangkan untuk hubungan subsistem yang bersifat polyadic dalam hubungan keluarga adalah hubungan ibu-ayah-anak. Subsistem ini akan saling mempengaruhi secara langsung atau mungkin secara tidak langsung.

Ada suatu riset yang dilakukan oleh Grych yang hasilnya adalah ketika orang tua memiliki pernikahan yang bahagia maka pasangan tersebut akan lebih menunjukan kasih sayang terhadap anak mereka daripada pasangan yang pernikahannya tidak bahagia. Ini mengkonfirmasi bahwa hubungan subsistem dyadic ayah-ibu berpengaruh pada anak mereka. Semakin harmonis maka semakin baik pola pengasuhan yang diberikan orang tua tersebut.

Morisson membahas bahwa ada perubahan mengenai definisi orang tua dan keluarga di masyarakat. Contohnya, orang tua di masa ini tidak harus memiliki hubungan biologis, seseorang yang mengasuh anak di keseharian dan menggantikan peran orang tua biologis bisa dilihat sebagai orang tua juga melalui pandangan sosial. Dikarenakan adanya beragam pandangan terhadap hal ini maka pola asuh di satu keluarga bisa berbeda dengan pola asuh di keluarga lainnya. Definisi keluarga atau orang tua ini bisa sangat mempengaruhi pola asuh.

Salah satu penelitian terkenal tentang pola asuh adalah dari Baumrind. Ia menggunakan pendekatan tipologis sebagai dasarnya. Fokusnya merupakan konfigurasi dari praktek pola asuh yang dilakukan secara berbeda.

Sederhananya adalah bagaimana konfigurasi elemen utama pola asuh seperti kehangatan, keterlibatan, tuntutan kematangan, dan supervisi bisa menghasilkan respon anak yang bervariasi (Fauzi, 2015). Dari pandangan ini bisa dilihat bahwa pola asuh merupakan karakteristik orang tua yang diterapkan ke anaknya yang lalu akan direspon oleh anak mereka juga.

2. Perkembangan Anak Usia Dini

a. Perkembangan Fisik dan Motorik

Perkembangan pada aspek motorik berkaitan erat dengan perkembangan fisik. Hal penting dalam pertumbuhan fisik anak usia dini, yaitu pertumbuhan otak dan syaraf. Di usia tiga tahun, otak anak akan mencapai tiga perempat ukuran otak orang dewasa, sedangkan pada usia lima tahun otak anak mencapai sembilan persepuluh otak orang dewasa.

Perkembangan fisik seperti pertumbuhan otak memerlukan adanya keterampilan motorik agar otot syaraf yang mulai tumbuh dapat bekerja secara tepat dan maksimal. Terdapat cangkupan perkembangan motoric anak usia dini, yaitu motorik kasar dan halus. Motorik kasar itu dibutuhkan untuk  menjaga  keseimbangan  tubuh  dan  untuk  keterampilan menggerakkan. Sedangkan motoric halus itu meliputi perkembangan otot halus dan juga fungsinya.

b. Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif merupakan kemampuan seseorang dalam meningkatkan penggunaan pengetahuannya dan menggambarkan bagaimana pikiran anak berkembang dan berfungsi untuk berpikir.

Anak usia dini sudah mampu berpikir menggunakan simbol. Mereka memiliki cara berpikir yang bersifat memusat dan kaku, serta mereka juga hanya melihat atau fokus pada awal dan akhir suatu proses, bukan pada proses yang telah dilewati. Anak usia dini mulai dapat mengerti dasar-dasar pengelompokan berdasarkan suatu dimensi, seperti berdasar pada warna, bentuk, dan ukuran.

c. Perkembangan Bahasa

Seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan anak, perkembangan pada aspek bahasa anak juga semakin meningkat. Di usia dua tahun anak akan menunjukkan minat untuk menyebut nama benda serta terus berkembang seiring bertambahnya usia. Anak usia dini secara bertahap menggunakan bahasa, dari ungkapan ekspresi diri mereka hingga menjadi komunikasi. Mereka mulai mampu mengembangkan pikiran dengan melakukan percakapan-percakapan. Anak usia dini biasa menggunakan bahasa untuk bertanya, berdialog, dan bernyanyi.

d. Perkembangan Moral dan Nilai-nilai Agama

Perkembangan agama pada anak umumnya mengikuti agama orang tua atau orang yang mengasuh mereka. Hal ini dikarenakan anak usia dini memiliki sifat yang suka meniru apa yang diperbuat oleh orang tuanya yang merupakan lingkungan pertama yang dilihat anak. Selain faktor keluarga dan lingkungan, perkembangan moral dan nilai-nilai agama pada anak usia dini juga dipengaruhi oleh pembiasaan. Oleh sebab itu, orang tua harus mampu membiasakan anak dalam berbuat hal berdasar pada moral dan nilai-nilai agama, dan memberikan lingkungan yang kondusif untuk perkembangan agama dan moral anak.

e. Perkembangan Sosial-Emosional

Perkembangan sosial-emosional merupakan perasaan peka anak dalam memahami perasaan orang lain pada saat berinteraksi di kehidupan sehari-hari. Sosial-emosional pada setiap anak itu berbeda-beda, perbedaan itu terjadi karena dipengaruhi oleh cara, sikap, dan kepribadian orang tua dalam mengasuh anak. Perspektif lain mengatakan bahwa perbedaan itu lebih disebabkan oleh faktor genetis, lingkungan, dan pengasuhan orang tua yang memiliki pendidikan yang berbeda-beda.

f. Perkembangan Seni dan Kreativitas

Anak usia dini itu memiliki keingintahuan yang cukup tinggi, mereka suka mengajukan pertanyaan mengenai hal-hal disekitar secara terus menerus. Mereka memiliki sifat yang spontan ketika menanyakan pikiran dan perasaannya. Anak usia dini juga suka menjelajahi lingkungannya, berpetualang agar menemukan suatu hal yang baru, suka bereksperimen, mencoba berbagai hal dengan imajinasinya yang tinggi.

3. Model-model Pola Asuh Orang Tua

Model pola asuh yang diterapkan orang tua akan menjadi faktor penentu keberhasilan pendidikan karakter pada anaknya. Setiap pola asuh orang tua memiliki karakteristik dan ciri khasnya masing-masing. Baumrind mengkategorikan jenis pola asuh menjadi:

a. Pola asuh otoriter (authoritarian)

Diciri dengan orang tua yang menentukan segala keputusan; kebijakan, langkah, dan tugas yang harus dijalani sementara anak harus tunduk. Pola asuh ini mencerminkan sikap keras yang cenderung diskriminatif dari orang tua, memberikan tekanan yang menuntut anak untuk patuh padanya. Menurut Baumrind, dalam pola asuh otoriter ini umumnya hubungan antara orang tua dengan anak tidaklah hangat, bersifat kaku dan anak sering mendapat hukuman apabila tidak sejalan dengan keinginan orang tuanya.

Besarnya kuasa yang dimiliki orang tua membuatnya menganggap semua sikap yang dilakukannya sudah benar sehingga tidak memerlukan pertimbangan dari anaknya. Hal tersebut mengakibatkan kebebasan anak untuk bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri sangat dibatasi, anak tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan aspirasinya, anak menjadi tertutup sebab jarangnya komunikasi dua arah dengan orang tua; tidak ada berbagi cerita atau pun bertukar pikiran dalam keluarga.

Berdasarkan studi, anak-anak dengan orang tua otoriter memiliki sifat yang kurang bertanggung jawab sebab orang tualah yang selalu membuat keputusan untuknya sehingga rasa ketergantungan anak pada orang tuanya tinggi. Anak sering kali tidak bahagia, cenderung memiliki ketakutan dan kecemasan yang tinggi dibandingkan dengan anak lain, gagal memulai suatu kegiatan, menarik diri karena merasa kurang pada dirinya sendiri, dan memiliki keterampilan komunikasi lemah.

b. Pola asuh demokratis (authoritative)

Ditandai dengan adanya pengakuan orang tua terhadap kemampuan anaknya, memberikan kesempatan untuk bereksplorasi dan tidak bergantung pada orang tua. Anak diberikan kebebasan namun tetap dalam batasan dan pengawasan dari orang tua. Terdapat komunikasi dua arah dalam hubungan antara orang tua dengan anak, di mana aspirasi anak didengar dan turut dipertimbangkan oleh orang tua, anak dilibatkan dalam pengambilan keputusan terutama terkait kehidupannya sendiri.

Anak dianggap mampu mencapai kebebasan pribadinya dalam memenuhi keinginan dan kebutuhannya apabila sudah mampu mengontrol diri serta beradaptasi dengan lingkungannya, keluarga maupun masyarakat. Kebebasan dan kontrol yang dimaksud adalah anak bebas menentukan kehendaknya namun tetap mampu bertanggung jawab atas setiap tindakannya.

Selain melalui kontrol ketat, harus ada dorongan positif yang mengimbangi agar seorang anak tetap merasa dihargai haknya sebagai pribadi yang bebas. Komunikasi yang berjalan dalam keluarga dengan pola asuh ini dilandaskan dari hasil kesepakatan yang telah disetujui dan dimengerti bersama antara anak dan orang tua.

Prinsip yang ditekankan Baumrind ialah mengenai kebebasan dan pengendalian (kontrol) yang seimbang, hubungan orang tua-anak yang saling berfungsi, adanya kontrol dan juga pemberian dukungan yang setara, dan tercapainya tujuan untuk mandiri serta bertanggung jawab.

c. Pola asuh permisif (permissive)

Di sini anak dibiarkan bertindak sesuai dengan keinginannya, tidak ada hukuman, orang tua tidak banyak ikut campur dalam kehidupan anaknya. Pola asuh permisif menekankan pada ekspresi diri dan regulasi diri anak. Anak sendirilah yang berperan aktif dalam mengontrol dirinya sendiri. Hal tersebut terkadang menyebabkan anak berperilaku bertentangan dengan norma sosial.

Pengawasan dari orang tua umumnya sangat longgar, cenderung tidak memperingatkan anaknya, dan sangat sedikit memberikan bimbingannya. Pola asuh seperti ini seringkali disukai oleh anak, sebab anak tidak terikat oleh tekanan apa pun.

Akibatnya anak akan memiliki rasa percaya diri yang rendah, belum mandiri, kurang bertanggung jawab, dan memiliki pengendalian diri yang buruk.

Selain itu Maccoby dan Martin (1983) memperluas lagi kategori pada  pola asuh orang tua yang permisif dari Baumrind menjadi:

– Pola asuh permisif yang penuh kelalaian (Permissive-neglectful parenting)

Orang tua tidak memberikan pengawasan atau pun mendukung hal yang disukai anaknya, cenderung lebih bersikap neglectful, tidak peduli pada anaknya. Biasanya dikarenakan kesibukan orang tua dengan kehidupannya sendiri, meninggalkan tanggung jawab mereka sebagai orang tua.

Orang tua tidak ikut campur dalam kehidupan anaknya, biasanyanya mereka tidak menyadari bahwa anak mereka mengalami kesulitan dalam interaksi sosialnya dan membutuhkan perhatian mereka sebagai orang tua.

Pola asuh ini membuat anak memiliki self esteem rendah, pengendalian diri yang buruk, dan tidak bisa memanfaatkan dengan baik kebebasan yang dimilikinya.

–  Pola asuh permisif yang pemurah (Permissive-indulgent parenting)

Pada pola asuh ini orang tua masih memiliki setidaknya sedikit peran dalam kehidupan anak namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. Orang tua lebih pada memanjakan dan mengizinkan anaknya melakukan yang mereka inginkan.

Orang tua bersikap terbuka; toleran, hangat, dan menerima. Hanya sedikit menunjukan otoritasnya, membiarkan terbentuknya self regulation pada anak. Dapat dikatakan, orang tua memberikan anaknya menyetir kehidupan mereka sendiri sementara sedikit memberikan arahan.

Pemikiran yang dimiliki orang tua dengan pola asuh ini umumnya adalah adanya kebutuhan dasar pribadi yang menuntut untuk dipenuhi pada setiap manusia yang dilahirkan. Oleh karena itu apabila kebutuhan anak tidak terpenuhi maka akan menyebabkan terhambatnya perkembangan dan timbul penyimpangan dalam tumbuh-kembang anak, sehingga anak harus dibiarkan berkembang secara apa adanya.

Namun di sisi lain, pemberian kebebasan terhadap anak juga bersamaan dengan tidak adanya norma yang harus diikuti oleh anak. Hal tersebut bisa disebab oleh sikap over protection atau over affection orang tua kepada anak atau pengetahuan orang tua yang kurang. Ditandai dengan nurturance tinggi tetapi tuntutan kedewasaan, kontrol, dan komunikasinya rendah, tidak mengendalikan anak, lemah dalam keteraturan hidup, dan tidak ada hukuman apabila anak salah; tidak ada standar perilaku bagi anak.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak

a. Kesehatan dan Kesejahteraan

Dalam perkembangan psikologis anak, pertumbuhan fisik dan kesehatan akan sangat berperan. Ketika bayi kekurangan asupan gizi maka masa pertumbuhan tidak akan optimal dan lamban sehingga memungkinkan timbulnya Marasmus, yaitu penyakit kekurangan gizi yang diakibatkan ketidakcukupan asupan kalori, dan Kwashiorkor, yaitu kekurangan gizi akibat ketidakcukupan asupan protein. Kekurangan gizi berupa zat besi, vitamin, maupun protein akan menyebabkan imun tubuh anak lebih rentan terhadap penyakit.

Anak yang kekurangan gizi di usia 3 tahun cenderung berperilaku agresif dan hiperaktif ketika usianya 8 tahun, menimbulkan banyak masalah eksternal di usia 11 tahun, dan menunjukkan perilaku motorik yang berlebihan pada usia 17 tahun.

Kesehatan dan kesejahteraan seorang anak akan bergantung kepada faktor ekonomi keluarga, perawatan kesehatan yang didapatkan, asupan gizi, dan penggunaan obat. Oleh karenanya, dalam hal ini peran orang tua sangat penting dan diharapkan mampu menerapkan kebiasaan hidup yang sehat kepada anaknya. Selain itu, guru juga diharapkan untuk menerapkan pola lingkungan sehat di area sekolah untuk menghindarkan anak dari penyakit. Dokter dan perawat akan berperan sebagai pemberi sosialisasi kepada masyarakat untuk menerapkan pola hidup sehat.

b. Keluarga dan Pengasuhan Anak

Santrock (2007, 157) menjelaskan bahwa sebuah keluarga memerlukan adanya interaksi dua arah yang disebut dengan mutual synchrony yang berarti perilaku setiap orang akan bergantung pada perilaku sebelumnya dari mitranya.

Dalam sebuah keluarga diperlukan adanya hubungan timbal-balik yang positif antar orang tua dan anak. Setiap anggota keluarga harus menempatkan diri sebagai partisipan dan saling mempengaruhi. Penelitian Cumminghams dkk. (2002) menyebutkan bahwa dengan meningkatkan kepuasan perkawinan maka akan menghasilkan pengasuhan yang baik, hubungan perkawinan, pengasuhan dan perilaku anak saling mempengaruhi.

Perawatan dan kasih sayang kedua orang tua akan membantu anak mempersiapkan diri menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat. Alexander A Schneiders (1960: 405) mengemukakan bahwa keluarga ideal ditandai dengan ciri-ciri: minimnya perselisihan antar orang tua atau orang tua dengan anak; ada kesempatan untuk menyatakan keinginan; penuh kasih sayang; penerapan disiplin yang tidak keras; ada kesempatan untuk bersikap mandiri dalam berpikir, merasa dan berperilaku; saling menghormati, menghargai di antara orang tua dan anak; orang tua memiliki emosi yang stabil; berkecukupan dalam ekonomi; mengamalkan nilai moral dan agama.

Dalam delapan tahap perkembangan Erik Erikson, disebutkan bahwa selama tahun pertama anak harus mengembangkan kepercayaan dasar kemudian diikuti dengan pengembangan otonomi pada tahun kedua, belajar inisiatif untuk menemukan identitas diri pada tahun berikutnya. Dengan tahapan perkembangan tersebut, peran orang tua adalah mendukung dan membantu memfasilitasi proses perkembangan psikologis sang anak. Selain itu, orang tua juga membantu untuk menciptakan lingkungan yang positif untuk anaknya karena pada dasarnya, lingkungan akan mempengaruhi kepribadian seseorang mulai dari pola asuh dan kebiasaan yang dilakukan.

c. Pendidikan

Pengajaran dan pola asuh orang tua merupakan pendidikan pertama yang akan didapat oleh anak. Menurut Albert Schweitzer (dalam Yusuf S, 2012: 47) pendidikan efektif yang dapat diberikan kepada anak adalah pertama modelling, yaitu orang tua menjadikan diri mereka sebagai model bagi anak, orang tua merupakan model yang pertama dan terdepan bagi anak baik bersifat positif maupun negatif. Kemudian mentoring, yaitu orang tua menjadikan diri sebagai mentor dalam hal menjalin hubungan dan memberikan kasih sayang sebagai sumber pertama perkembangan perasaan anak. Terakhir teaching, yaitu orang tua berperan sebagai guru yang mengajari anaknya mengenai hukum-hukum dasar kehidupan. Peran orang tua sebagai guru menciptakan “conscious competence” yaitu anak mengetahui dan mengalami apa yang mereka kerjakan serta alasan mereka melaksanakan hak tersebut.

Selain pengajaran dari orang tua, pendidikan formal seperti sekolah juga berperan untuk mengembangkan potensi anak baik dalam aspek moral-spiritual, intelektual, emosional, dan sosial. Sekolah yang baik adalah sekolah yang mampu menciptakan lingkungan kondusif dan dapat memfasilitasi siswa untuk mencapai tugas perkembangannya. Allan

Orsnstein (1990: 549) mengemukakan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa karakteristik guru yang efektif atau sangat diharapkan diklasifikasikan ke dalam empat klaster dimensi guru, yaitu kreatif ditandai dengan perilaku imajinatif, senang bereksperimen, dan orisinal; perilaku dinamis, yaitu enerjik dan ekstrovert; terorganisasi ditandai dengan perilaku sadar akan tujuan, pandai mencari cara dalam memecahkan masalah, dan memiliki kontrol.

5. Metode dalam Pendidikan dan Pengasuhan Anak

a. Pendidikan dengan keteladanan

Keteladanan merupakan salah satu prinsip penting dalam pendidikan anak-anak. Pendidikan dengan keteladanan menjadi metode yang efektif untuk membentuk aspek-aspek positif dalam diri anak-anak, baik dalam aspek moral, spiritual, emosional, dan sosial anak. Seperti yang kita ketahui bahwa pendidik adalah seorang figur yang patut untuk ditiru oleh anak didiknya. Semua perkataan dan perbuatan yang diamalkan atau diperlihatkan pendidik dapat ditiru oleh anak. Jika pendidik merupakan orang yang jujur, rendah hati, dan rajin beribadah, maka peluang anak untuk tumbuh menjadi orang yang jujur pula semakin besar. Itulah mengapa keteladanan menjadi faktor penting yang menentukan baik atau buruknya perilaku anak.

Bagi seorang pendidik pun, mengajarkan kebaikan adalah hal yang mudah. Kita dapat sekadar merangkai kata-kata kebaikan untuk disampaikan kepada anak-anak, tetapi untuk benar-benar mencontohkan kebaikan dalam tindak tanduk kita setiap harinya akan menjadi lebih menantang dan sulit untuk dilakukan. Jika anak tidak mempersepsikan pendidiknya sebagai teladan yang baik, maka mereka tidak dapat mengambil nilai-nilai atau esensi dasar dari pendidikan itu sendiri.

b. Pendidikan dengan kebiasaan

Kebiasaan merupakan cara bertindak yang berulang-ulang hingga menimbulkan pola tertentu. Kelemahan dari metode pendidikan dan pengajaran dengan kebiasaan ini adalah anak akan menjadi bergantung pada kebiasaan pendidiknya. Permasalahannya, pendidik sebagai manusia biasa ada saatnya mereka melakukan kebiasaan kurang baik di depan anak-anak. Dengan demikian, metode ini membutuhkan komitmen yang kuat dan teratur dari pendidik. Dalam hal ini orang tua sebagai pendidik diperkenankan untuk lebih berhati-hati dalam memperlihatkan perilaku, tingkah laku, dan gerak-geriknya di depan anak. Kelemahan yang kedua adalah metode ini membutuhkan peran dari semua pihak. Seorang anak tentunya tidak hanya belajar dari keluarga saja, tetapi juga dari lingkungan sekolah dan masyarakat secara luas.

Meskipun begitu, metode ini tetap memiliki kelebihan, yaitu jika mengambil metode yang tepat untuk membentuk kebiasaan anak-anak, mereka akan tumbuh sesuai dengan apa yang dibentuk. Sebagai contoh, kita dapat melihat dari perspektif agama, bahwa ketika anak-anak dibentuk kebiasaannya melalui nilai dan ajaran agama, mereka akan tumbuh menjadi orang yang mengamini ajaran agamanya. Pendidikan dengan mengajarkan dan membiasakan dapat menjadi metode efektif untuk membentuk iman dan karakter anak.

c. Pendidikan dengan nasihat

Metode pendidikan dengan nasihat dapat membuat anak memiliki kesadaran akan esensi dari pendidikan itu sendiri. Nasihat berperan dalam menjelaskan tujuan pendidikan yang akan dicapai. Kelemahan dari metode ini, pendidik yang memberikan nasihat harus merupakan orang yang konsekuen atas nasihat dan perkataannya sendiri. Jika pendidik tidak konsekuen  dengan  nasihatnya  sendiri,  tentu  dapat  menurunkan kepercayaan anak terhadapnya. Anak menjadi enggan untuk mengikuti nasihatnya lagi. Kelebihan dari metode ini adalah dapat memberikan pengaruh yang besar dalam mengokohkan pengetahuan, pemahaman, dan mengembangkan kecerdasan.

d. Pendidikan dengan perhatian

Mendidik dan mengasuh anak dengan perhatian artinya tidak hanya memfokuskan diri pada pencapaian akademik dan pendidikan jasmaninya saja, tetapi juga senantiasa memberikan perhatian dan afeksi terhadap setiap perkembangan dan kemajuan yang dicapai anak. Pendidikan dan pengasuhan dengan perhatian dapat membentuk relasi orang tua-anak yang sehat. Anak cenderung mengembangkan self-esteem dan self-image yang baik ketika mereka merasa diperhatikan dan memiliki gaya kelekatan yang sehat dengan orang tuanya. Sejalan dengan hal tersebut, berdasarkan penelitian yang dilakukan Izzah (2017), ditemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara gaya kelekatan terhadap orang tua dengan harga diri. Namun, orang tua juga perlu untuk memperhatikan bahwa memberikan perhatian yang berlebihan pun tidak dianjurkan. Sebab, nantinya akan berdampak pada terciptanya kelekatan atau attachment yang tidak aman dan tidak sehat.

e. Pendidikan dengan hukuman

Hukuman kerap kali disisipkan dalam pendidikan dan pengasuhan sebagai sebuah penguat agar anak tidak melakukan sesuatu yang tidak diinginkan oleh orang tuanya. Namun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.

Salah satunya adalah pemberian hukuman yang berlebihan tentunya dapat menyebabkan pengalaman traumatis bagi anak. Selain itu, kelemahan dari memberikan hukuman berlebihan adalah anak dapat mengembangkan kepercayaan diri yang rendah dan cenderung menjadi peragu.

6. Kesimpulan

Keluarga berperan penting dalam membentuk kepribadian anak dan setiap keluarga atau orang tua memiliki karakteristik pola asuhnya masing-masing. Salah satu penelitian mengenai pola asuh yang dilakukan oleh Baumrind, berdasarkan pada pendekatan tipologis dan terfokus pada konfigurasi elemen utama dari pola asuh meliputi kehangatan, keterlibatan, tuntutan kematangan, dan supervisi dapat menghasilkan respon anak yang bervariasi (Fauzi, 2015). Perbedaan pola asuh tersebut terjadi karena pengaruh dari cara, sikap, dan kepribadian orang tua dalam mengasuh anaknya.

Dalam setiap pertumbuhannya, anak usia dini sangat memerlukan perhatian, kasih sayang, serta bimbingan dari orang tuanya agar tugas perkembangannya dapat tercapai secara maksimal. Karena orang tua menjadi model pertama dan terdepan bagi anaknya, baik sifat positif maupun negatif orang tua akan berpotensi ditiru pula oleh anak. Maka perlu ada hubungan timbal-balik yang positif antar orang tua dan anak, semua anggota keluarga harus menempatkan diri sebagai partisipan dan saling mempengaruhi.

Terdapat sejumlah kategori pola pengasuhan anak yang dikemukakan oleh Baumrind maupun Maccoby dan Martin (1983), namun di antara itu semua pola pengasuhan demokratis (authoritative) yang dirasa paling tepat. Di mana terdapat komunikasi dua arah antara anak dengan orang tuanya, baik orang tua maupun anak mampu menjalankan fungsinya secara maksimal, dan tercapainya tujuan untuk mandiri serta bertanggung jawab pada anak.

Selain itu, bentuk pendidikan dalam pengasuhan anak yang dilakukan orang tua haruslah dapat disesuaikan dengan kondisi anak. Misalnya saja pada metode pendidikan berdasarkan hukuman, orang tua tentu dapat menggunakan hukuman agar anaknya menyadari kesalahan yang dilakukannya, namun di sisi lain pemberian hukuman ini tidak boleh berlebihan. Orang tua juga harus mengetahui kapasitas anak, jangan sampai tindakan yang dilakukan orang tua menjadi kelalaian yang berdampak negatif pada anak.

DAFTAR PUSTAKA

–  Ayun, Q. (2017). Pola Asuh orang Tua Dan Metode Pengasuhan dalam Membentuk Kepribadian Anak. ThufuLA: Jurnal Inovasi Pendidikan Guru Raudhatul Athfal, 5(1), 102. https://doi.org/10.21043/thufula.v5i1.2421

– Badria, E. R. & Fitriana, W. (2018). Pola asuh orang tua dalam mengembangkan potensi anak melalui homeshooling di kancil cendikia. COM-EDU, 1(1), 1-8. http://dx.doi.org/10.22460/comm-edu.v1i1.54

– Fauzi. (2015). Model Pengasuhan Anak Usia Dini Pada Keluarga dengan Ibu Sebagai Buruh Pabrik (pabrik studi terhadap model pengasuhan dan dampaknya bagi tumbuh kembang anak usia dini di kecamatan padamara kabupaten purbalingga). IAIN Purwokerto.

http://repository.iainpurwokerto.ac.id/332/1/Fauzi_MODEL%20PENGASUHA N%20ANAK%20USIA%20DINI.pdf

– Sumbodo. (2014). Hubungan antara pola asuh permisif orang tua dan konsep diri dengan disiplin diri anak pada siswa kelas XI sma negeri 1 bergas kabupaten semarang. Magister Manajemen Pendidikan Program Pascasarjana FKIP-UKSW.

http://repository.uksw.edu/handle/123456789/6074. ***

About Admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

x

Check Also

Program Bisnis PGN Optimalkan Peran Strategis Gas Bumi dan Ekonomi Hijau Sejalan Asta Cita Prabowo-Gibran

JAKARTA (kampussemarang.com)– Sebagai Subholding Gas PT Pertamina Persero, dua jalur pengembangan bisnis PT Perusahaan Gas ...